Mbak Mitha sapaan akrabnya menyebut, digitalisasi itu sudah memakan dana hingga triliunan rupiah. Ketimbang pakai aplikasi baru, Pertamina harusnya mengoptimalkan penggunaan digitalisasi yang sudah dipasang.
"Saya ingat betul, ketika Dirut Patra Niaga yang lama, Pak Mas’ud Khamid masih menjabat. Tujuan digitalisasi itu kan sudah jelas agar Pertamina punya data akurat dan transparan. Kalau saja penerapan digitalisasi itu dilakukan dengan baik, maka sebenarnya data penjualan Pertalite, Solar, dan Pertamax sudah ada. Jadi tidak perlu lagi pakai aplikasi baru untuk beli Pertalite. Ini terkait dengan akar masalah yang kedua yakni soal pengawasan," terang Mitha.
Mitha menjelaskan terkait pengawasan, yang bertanggung jawab adalah BPH Migas, bukan Pertamina. Pertamina hanya menjalankan penugasan untuk mengadakan dan menyalurkan BBM bersubsidi hingga ke daerah terpencil.
"Berarti, selama ini BPH sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam hal pengawasan, tidak menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Yang memutuskan kuota BBM untuk tiap daerah itu kan BPH Migas. Ketika mereka sudah bagikan kuotanya, kenapa mereka tidak bisa mengawasi? Sejatinya mereka harus bertugas sesuai tupoksinya," papar polistis PDI Perjuangan itu.
Mitha menguraikan dari setiap liter BBM yang dibeli konsumen, itu ada fee yang didapat oleh BPH Migas.
"Berarti selama ini masyarakat selalu bayar fee ke BPH Migas dari tiap liter pembelian BBM tapi kok BPH Migas enak sekali kerjanya, karena berarti fee yang kita bayarkan sia-sia," urai Mitha.
Editor : Miftahudin
Artikel Terkait